Bicara tahun 2011, pencinta sepakbola tanah air pasti masih ingat betapa banyaknya peristiwa yang terjadi di dalam tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Mungkin salah satu tahun yang terberat yang harus dilewati oleh organisasi yang pertama kali dibentuk pada 19 April 1930. Tahun 2011 menjadi tahun di mana runtuhnya kepengurusan PSSI di bawah Nurdin Halid yang telah berjalan 8 tahun.
Kisruh persepakbolaan Indonesia pun dimulai sejak saat itu, tuntutan mundur dari masyarakat tak dihiraukan oleh PSSI, Nurdin bersikeras mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Bahkan diduga beberapa cara digunakan oleh rezim Nurdin untuk menjegal pesaing lain yang berniat mencalonkan diri sebagai Ketum.
Anggota-anggota PSSI yang juga pemilik hak suara yakni Pengurus Provinsi dan Pengurus Cabang yang berseberangan dengan Nurdin coba menggalang kekuatan dengan membentuk Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KPPN) yang saat itu kukuh menjagokan duet George Toisutta dan Arifin Panigoro (GT-AP) untuk memimpin induk organisasi sepakbola tanah air ini.
Pengurus PSSI saat itu juga melarang GT dan AP mencalonkan diri dengan alasan keduanya bukan anggota PSSI dan belum lima tahun berkiprah di persepakbolaan nasional sebagai salah satu syarat menjadi Ketum PSSI. Rezim Nurdin pun langsung menggelar Kongres PSSI di Pekanbaru pada 26 Maret 2011 yang berakhir ricuh karena KPPN menolak sekaligus mengambilalih Kongres tersebut.
Kisruh sepakbola nasional akhirnya menjadi perhatian khusus FIFA yang kemudian membentuk Komite Normalisasi PSSI pada 5 April 2011 yang diketuai Agum Gumelar dan wakilnya Djoko Driyono. Keduanya dipercaya untuk menggelar Kongres PSSI, seiring berjalannya waktu dan desakan kuat untuk mundur, Nugraha Besoes akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Sekjen, sementara Presiden FIFA Sepp Blatter melarang Nurdin Halid mencalonkan diri lagi karena pernah dipenjara.
Namun, FIFA juga melarang George Toisutta dan Arifin Panigoro maju ke pemilihan Ketua Umum PSSI karena mereka dianggap memecah belah sepakbola Indonesia dengan membentuk kompetisi di luar PSSI saati itu, yakni Liga Primer Indonesia (LPI). Hal inilah yang membuat KPPN yang kemudian lebih dikenal dengan Kelompok 78 itu tak puas dengan keputusan tersebut, KPPN ingin dua jago mereka tetap bisa dicalonkan.
Kelompok 78 menjadi pihak yang bisa dibilang menjadi penyebab gagalnya Kongres ini karena mereka terus-menerus menuntut agar GT-AP bisa dicalonkan, sedangkan FIFA yang diwakili Thierry Regenass baru bisa memberi kesempatan GT-AP untuk mencalonkan diri pada periode berikutnya. Saat itu, bahkan Regenass menjadi sasaran Kelompok 78, beberapa di antaranya menuding pria yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan dan Asosiasi anggota FIFA ini sebagai pembohong.
Namun, dengan adanya kejadian memalukan tersebut, ternyata FIFA masih memberikan kesempatan Indonesia untuk menggelar Kongres Luar Biasa (KLB), di mana ini merupakan kesempatan terakhir yang diberikan FIFA agar PSSI mengadakan pemilihan Ketua Umum PSSI dan jajarannya. KLB saat itu juga memilih 9 anggota Exco PSSI.
Duet Djohar Arifin-Farid Rahman akhirnya mulai memimpin PSSI. Mereka memutuskan menggelar kompetisi yang disebut Indonesian Premier League dengan diikuti 24 klub, hal yang ditentang oleh 4 anggota Exco yang kemudian kembali melahirkan kisruh baru di persepakbolaan Indonesia. Bahkan, PT Liga Indonesia yang dulu memiliki hak menggelar kompetisi di rezim Nurdin seolah ingin membalas dendam dengan juga menggelar kompetisi di luar PSSI dengan mengusung nama Indonesian Super League.
Baru sekitar 5 bulan PSSI kepengurusan Djohar Arifin, desakan mundur mulai santer terdengar. Desember 2011 gejolak kian terasa, tekanan mundur untuk Djohar semakin kencang. Kelompok yang menamakan diri Forum Pengprov PSSI (FPP) menggelar Rapat Akbar Sepakbola Nasional (RASN) pada 18 Desember lalu dan diklaim dihadiri oleh 2/3 dari 583 anggota PSSI, meski keanggotaan mereka diragukan oleh PSSI. Arah pertemuan itu jelas menyiratkan KLB demi melengserkan Djohar cs dari kepengurusan PSSI.
Seolah tak pernah usai, masalah terus menerpa persepakbolaan Indonesia, yang sebenarnya bahkan belum menghasilkan prestasi mengkilap di kancah internasional. Terlebih lagi ulah sebagian Pengprov dan Pengcab yang bisanya hanya menuntut digelarnya Kongres, tugas mereka yang seharusnya membuat kompetisi usia dini di daerah masing-masing, malah terabaikan.
Kisruh persepakbolaan Indonesia pun dimulai sejak saat itu, tuntutan mundur dari masyarakat tak dihiraukan oleh PSSI, Nurdin bersikeras mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Bahkan diduga beberapa cara digunakan oleh rezim Nurdin untuk menjegal pesaing lain yang berniat mencalonkan diri sebagai Ketum.
Anggota-anggota PSSI yang juga pemilik hak suara yakni Pengurus Provinsi dan Pengurus Cabang yang berseberangan dengan Nurdin coba menggalang kekuatan dengan membentuk Komite Penyelamat Persepakbolaan Nasional (KPPN) yang saat itu kukuh menjagokan duet George Toisutta dan Arifin Panigoro (GT-AP) untuk memimpin induk organisasi sepakbola tanah air ini.
Pengurus PSSI saat itu juga melarang GT dan AP mencalonkan diri dengan alasan keduanya bukan anggota PSSI dan belum lima tahun berkiprah di persepakbolaan nasional sebagai salah satu syarat menjadi Ketum PSSI. Rezim Nurdin pun langsung menggelar Kongres PSSI di Pekanbaru pada 26 Maret 2011 yang berakhir ricuh karena KPPN menolak sekaligus mengambilalih Kongres tersebut.
Kisruh sepakbola nasional akhirnya menjadi perhatian khusus FIFA yang kemudian membentuk Komite Normalisasi PSSI pada 5 April 2011 yang diketuai Agum Gumelar dan wakilnya Djoko Driyono. Keduanya dipercaya untuk menggelar Kongres PSSI, seiring berjalannya waktu dan desakan kuat untuk mundur, Nugraha Besoes akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Sekjen, sementara Presiden FIFA Sepp Blatter melarang Nurdin Halid mencalonkan diri lagi karena pernah dipenjara.
Namun, FIFA juga melarang George Toisutta dan Arifin Panigoro maju ke pemilihan Ketua Umum PSSI karena mereka dianggap memecah belah sepakbola Indonesia dengan membentuk kompetisi di luar PSSI saati itu, yakni Liga Primer Indonesia (LPI). Hal inilah yang membuat KPPN yang kemudian lebih dikenal dengan Kelompok 78 itu tak puas dengan keputusan tersebut, KPPN ingin dua jago mereka tetap bisa dicalonkan.
Kelompok 78 menjadi pihak yang bisa dibilang menjadi penyebab gagalnya Kongres ini karena mereka terus-menerus menuntut agar GT-AP bisa dicalonkan, sedangkan FIFA yang diwakili Thierry Regenass baru bisa memberi kesempatan GT-AP untuk mencalonkan diri pada periode berikutnya. Saat itu, bahkan Regenass menjadi sasaran Kelompok 78, beberapa di antaranya menuding pria yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan dan Asosiasi anggota FIFA ini sebagai pembohong.
Namun, dengan adanya kejadian memalukan tersebut, ternyata FIFA masih memberikan kesempatan Indonesia untuk menggelar Kongres Luar Biasa (KLB), di mana ini merupakan kesempatan terakhir yang diberikan FIFA agar PSSI mengadakan pemilihan Ketua Umum PSSI dan jajarannya. KLB saat itu juga memilih 9 anggota Exco PSSI.
Duet Djohar Arifin-Farid Rahman akhirnya mulai memimpin PSSI. Mereka memutuskan menggelar kompetisi yang disebut Indonesian Premier League dengan diikuti 24 klub, hal yang ditentang oleh 4 anggota Exco yang kemudian kembali melahirkan kisruh baru di persepakbolaan Indonesia. Bahkan, PT Liga Indonesia yang dulu memiliki hak menggelar kompetisi di rezim Nurdin seolah ingin membalas dendam dengan juga menggelar kompetisi di luar PSSI dengan mengusung nama Indonesian Super League.
Baru sekitar 5 bulan PSSI kepengurusan Djohar Arifin, desakan mundur mulai santer terdengar. Desember 2011 gejolak kian terasa, tekanan mundur untuk Djohar semakin kencang. Kelompok yang menamakan diri Forum Pengprov PSSI (FPP) menggelar Rapat Akbar Sepakbola Nasional (RASN) pada 18 Desember lalu dan diklaim dihadiri oleh 2/3 dari 583 anggota PSSI, meski keanggotaan mereka diragukan oleh PSSI. Arah pertemuan itu jelas menyiratkan KLB demi melengserkan Djohar cs dari kepengurusan PSSI.
Seolah tak pernah usai, masalah terus menerpa persepakbolaan Indonesia, yang sebenarnya bahkan belum menghasilkan prestasi mengkilap di kancah internasional. Terlebih lagi ulah sebagian Pengprov dan Pengcab yang bisanya hanya menuntut digelarnya Kongres, tugas mereka yang seharusnya membuat kompetisi usia dini di daerah masing-masing, malah terabaikan.
Sumber artikel :
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
click for tour in Malang Regency
Check
Tidak ada komentar:
Posting Komentar