Kamis, 15 Agustus 2013

Nasionalisme, Hari Kemerdekaan dan Tahun Politik


Masih relevankah kita berbicara tentang nasionalisme saat ini ?
Pertanyaan ini sangat terkesan mengandung sikap pesimis ketika kita sekarang berada di tengah atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah memiliki Pancasila sebagai “bintang penuntun”. Selayaknya pertanyaan itu tidak muncul lagi kepermukaan sebagai wacana yang perlu diperbincangkan. Karena membicarakannya sama halnya kita kembali memutar arah jarum jam ke suatu masa ketika para the founding father bangsa Indonesia melakukan musyawarah menetapkan fundamen kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Namun setelah sekian lama bangsa Indonesia merdeka dari cengkeraman kaum imperialis, dan sebentar lagi tanggal 17 Agustus 2013 akan diperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia yang ke-68 (enam puluh delapan), - sebuah usia yang tergolong tua dibandingkan rata-rata umur manusia - , tidak ada salahnya jika kita masih berkenan melakukan permenungan tentang pesan apa yang dapat kita peroleh dari memperingati hari kemerdekaan Indonesia kali ini.
Betapa mahalnya harga yang mesti dibayar jika dari tahun demi tahun peringatan hari kemerdekaan itu hanya berbentuk seremonial belaka. Ketidakpedulian terhadap makna yang tersirat dalam memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia tidak ubahnya bagaikan sebuah benih yang hendak kita tanam untuk tumbuh berkembangnya paham-paham yang mendegradasi nilai-nilai luhur nasionalisme yang sejak lama dierjuangkan oleh para pahlawan Bangsa Indonesia. Padahal secara kasat mata dapat kita lihat bahwa sampai hari ini kehidupan berbangsa dan bernegara masih saja menghadapi munculnya wacana yang berupaya melunturkan nilai-nilai nasionalisme, misalnya keinginan daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan adanya upaya-upaya membenturkan perbedaan suku, agama dan ras.
Salah satu kasus paling menarik dicermati untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang potensial menggerus nilai-nilai nasionalisme sampai hari ini adalah perbenturan sentimen “suku” dan “agama”, ironisnya yang sering berupaya menghangatkan dan mempergunakan perbedaan ini sebagai perdebatan ditengah-tengah kehidupan masyarakat justru para elit politik. Hal ini dapat kita lihat setiap kali terjadi proses pemilihan umum, baik itu pemilihan kepala desa, pemilihan, legislatif (DPR/DPRD) maupun pemilihan eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota).
Untuk memperoleh suara pemilih, para elit politik masih sering melakukan segmentasi calon konstituen berdasarkan sentimen suku dan agama, bahkan berupaya melakukan diferensiasi dengan cara membangkitkan kesamaan suku dan agama untuk mendapatkan dukungan masyarakat, sehingga tanpa disadari bahwa masyarakat distimulus untuk menunjukkan adanya perbedaan tersebut, padahal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mereka sudah terbiasa hidup rukun dan bertenggang rasa dengan sesama.
Ironisnya masyarakat juga banyak yang ikut larut dalam lenggam irama lahu yang dimainkan para elit politik ini, sehingga tanpa disadari kemudian terjadi kerenggangan bahkan salah paham diantara sesama masyarakat. Jika tidak maintenance dengan baik kondisi yang lahir dari kepentingan sesaat ini akan bagaikan api dalam sekam yang suatu saat akan bisa marak bagaikan api jika ada orang yang ingin menyulutnya. Oleh karena itu masyarakat khususnya semestinya mulai menyadari tidak produktifnya budaya politik seperti ini dan mulai menggeser kerangka berpikir dengan menjadikan kapasitas seseorang sebagai ukuran untuk menentukan pilihan yang diberikan.
Elit politik yang semestinya menjadi pengayom dan mengartikulasikan amanat isi hati dan harapan masyarakat menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat harus menyadari betapa besar resiko yang ditimbulkan jika pola pikir seperti ini masih tetap dipertahankan. Berdasarkan pengalaman penulis mengikuti beberapa pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah, issu sentiment ini justru dianggap paling “seksi” oleh para elit politik sehingga sering dimainkan karena dalam pemikiran para pelaku politik unsur SARA sangat mudah dipengaruhi dengan pendekatan emosional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedekatan emosional mempergunakan faktor suku dan agama memang masih menarik dan gampang dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang belum terbiasa menjadikan kapasitas sebagai ukuran seseorang itu layak menjadi pilihan. Di Sumatera Utara yang penduduknya sangat heterogen dan terdiri dari penduduk yang memiliki beberapa sub-etnis atau suku ditambah lagi dengan jumlah pemeluk masing-masing agama yang relatif besar jumlahnya menjadikan metode pendekatan etnisitas dan agama menjadi pilihan utama yang sering digiring di setiap pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga ada sebuah ungkapan yang sering dipergunakan untuk menggerakkan kedekatan emosional itu berbunyi “dang tumagon tu halak adong di hita”, terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini “ Lebih baik untuk kita daripada untuk orang lain”.
Fenomena seperti ini tidak hanya di Sumatera Utara terjadi, bahkan hamper terjadi di setiap daerah yang wilayahnya sudah di huni oleh masyarakat yang plural, bahkan selain upaya melakukan pendekatan sukuisme, kedekatan emosional secara agama merupakan pilihan yang paling sering dilakukan karena dengan mempergunakan agama malah dianggap paling mudah mengikat kedekatan emosional dengan calon konsituen atau pemilih.
Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang sebentar lagi dirayakan dan bertepatan dengan tahun 2013 dan 2014 dianggap sebagai tahun politik bagi bangsa Indoensia maka selayaknyalah kita kembali meletakkan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara kepada rel yang sebenarnya, jangan hanya karena kepentingan politik sesaat justru tumbuh subur sentimen sempit yang potensial memecah kebersamaan dan kepedulian social bagi sesame. Hal ini sangat essensial karena tidak dapat dihindari bahwa Bangsa Indonesia masyarakatnya sangat plural terdiri dari bermacam-macam suku dan agama sehingga tanpa manajemen yang baik akan mudah di sulut menjadi suatu perpecahan dan pertentangan secara horizontal.
Memperingati hari kemerdekaan Indonesia berarti kita harus kembali mengenang dan menyegarkan kembali ingatan kita terhadap para pejuang dan pendiri bangsa ini yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan Indonesia, dan para pendiri bangsa Indonesia sejak awal telah meletakkan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan. Hal ini dapat kita lihat pada proses menetapkan Pancasila sebagai bintang penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam proses pembicaraan tentang dasar negara tersebut para pendiri bangsa menunjukkan betapa besarnya rasa cinta mereka terhadap perbedaan yang ada di Indonesia melalui formulasi Pancasila yang dianggap mampu mempersatukan perbedaan yang ada itu.
Di tahun-tahun politik ini masyarakat khususnya dan para elit politik kembali diajak untuk kembali meletakkan rasa cinta terhadap persatuan nasional sebagai salah satu makna yang tersirat dalam nasionalisme Indonesia menjadi permenungan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mampu mengeyampingkan kepentingan sempit dan opurtinis yang potensial memicu keretakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilihan umum dan pemiliah Presiden yang akan dilaksanakan tahun depan alangkah indahnya jika kita mampu memilih pemimpin yang memang benar-benar mampu membawa Indonesia ke arah yang lenih baik, dan masyarakat Indonesia yang memiliki hak menentukan pilihannya semoga tidak gampang terpengaruh oleh intrik-intrik politik yang memainkan unsur suku dan agama
Sumber artikel :http://politik.kompasiana.com
Pesan moral artikel :


Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.

click for tour in Malang Regency

Check

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Share on Facebook

Labels

Agama (31) Alamat (3) Arema (4) Artikel (209) Artis (15) Bencana (17) Berita (239) Bisnis (30) Budaya (49) Budha (3) Cerita Motivasi (20) Desa (6) E-Taiment (5) Ekonomi (9) Elektronik (7) English (2) Foto (15) Gaya Hidup (6) Hari Besar (12) Hindu (3) Hobi (2) Hukum (19) Humor (21) Ilmu (13) Info (249) Infotaimen (21) Internasional (38) Internet (31) Islam (13) Jatim (25) Kab. Malang (61) Karikatur (2) Kata Bijak (5) Kec. Kepanjen (23) Kecantikan (3) Kejawen (1) Kepanjen (10) Kesehatan (50) komentar (2) Komputer (6) Kristen (2) Kuliner (7) Lain-lain (143) Luar Negeri (42) Malang Raya (38) Masakan (6) Music (5) Nasional (225) Olah Raga (69) Opini (2) Otomotiv (16) PDI Perjuangan (10) Pemerintahan (1) Pemilu (7) Penting (3) Permainan (6) Peta (4) Pilbup (7) pnpm (3) Polisi (1) Politik (36) Profil (1) Sejarah (2) sepak bola (3) ser (1) Serba 7 (52) Team (1) Tekno Tepat Guna (20) Teknologi (38) Tips (14) TNI (1) Tokoh (16) Tradisional (4) Trasnsportasi (17) Video (5) Wanita (2) Wisata (22)

geovisite