Desa Jatirejoyoso berada di wilayah administratif Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Angka diare di desa ini tertinggi dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Kepanjen. Data itu dapat dilihat dari sensus harian penyakit (SHP) yang ada di Puskesmas Kepanjen.
Mekanisme SHP sebagai berikut. Bidan-bidan desa setiap hari menelpon atau memberi kabar ke puskesmas kecamatan tentang perkembangan penderita penyakit di wilayahnya. Data ini kemudian direkapitulasi oleh puskesmas. Yang disensus adalah penyakit menular, yaitu diare, kolera, tipus, cacar air, DHF, penyakit menular seksual, AIDS, hepatitis dan lainnya. SHP ini baru berjalan selama 2 tahun terakhir. Namun baru satu tahun terakhir ini berjalan lancar. Selain dilakukan bidan desa, sensus ini juga dilakukan oleh tenaga medis/paramedis swasta.
Dari catatan harian itulah diketahui bahwa angka diare di Desa Jatirejoyoso berada di tingkat yang paling tinggi dibandingkan desa yang lain. Kualitas diare yang diderita tidak terlampau parah. Artinya, belum ada kejadian luar biasa (KLB), atau pun sampai meninggal dunia. Selama ini, diare masih bisa ditangani sampai di tingkat puskesmas. Tidak sampai ke tingkat kabupaten, apalagi rumah sakit.
Bidan Astuti yang juga bidan desa Jatirejoyoso mengaku heran atas fakta tentang tingginya angka diare di desanya. “Mengapa di Jatirejoyoso tertinggi juga masih tanda tanya,” tutur Astuti. Namun, salah satu variabel penting yang dapat ditemui adalah perilaku sehari-hari warga terhadap air. Ada beberapa sumber air yang digunakan warga Jatirejoyoso. Masih sedikit warga Jatirejoyoso yang terjangkau oleh layanan PDAM Kabupaten Malang, sementara yang lain masih menggunakan sumur untuk kebutuhan masak dan minum. Sedangkan untuk aktivitas MCK, sebagian besar warga masih melakukan aktivitasnya di aliran irigasi yang mengalir melintasi desa mereka. Setiap pagi dan sore hari mereka “turun ke kali” untuk melakukan ritual hariannya itu. Yang cukup mengenaskan adalah kondisi air sungai yang berwarna coklat itu. Memang belum pernah dilakukan uji kualitas air di saluran irigasi tersebut, namun Bidan Astuti mensinyalir bahwa perilaku macam inilah yang potensial meningkatkan angka diare di desanya.
Meskipun bukan berasal dari desa ini, Astuti sudah cukup mengenal desa ini. Dia menginjakkan kaki di Desa Jatirejoyoso pertama kali ketika praktik lapangan saat masih sekolah perawat. Desa Jatirejoyoso adalah desa binaannya selama sembilan bulan. Segala upaya perbaikan tingkat kesehatan dilakukan bersama teman-temannya waktu itu, sampai sekarang. Namun selalu terhenti pada bagaimana melakukan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, khususnya tentang perilaku MCK di saluran irigasi.
Salah satu kendala menurut Astuti adalah keyakinan agama di masyarakat yang kuat. Dalam pandangan Islam, air mengalir kan tetap dianggap suci. Meskipun air itu sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk MCK. Namun Astuti juga mempertanyakan nilai-nilai agama itu, “Jika memang agamanya kuat, mengapa membuka aurat di depan umum tidak dipermasalahkan.”