Masih relevankah kita berbicara tentang nasionalisme saat ini ?
Pertanyaan
ini sangat terkesan mengandung sikap pesimis ketika kita sekarang
berada di tengah atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah
memiliki Pancasila sebagai “bintang penuntun”. Selayaknya pertanyaan itu
tidak muncul lagi kepermukaan sebagai wacana yang perlu
diperbincangkan. Karena membicarakannya sama halnya kita kembali memutar
arah jarum jam ke suatu masa ketika para the founding father bangsa Indonesia melakukan musyawarah menetapkan fundamen kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Namun setelah sekian lama bangsa Indonesia merdeka dari cengkeraman kaum imperialis, dan sebentar lagi tanggal 17 Agustus 2013 akan diperingati sebagai hari kemerdekaan Indonesia yang ke-68 (enam puluh delapan), - sebuah usia yang tergolong tua dibandingkan rata-rata umur manusia
- , tidak ada salahnya jika kita masih berkenan melakukan permenungan
tentang pesan apa yang dapat kita peroleh dari memperingati hari
kemerdekaan Indonesia kali ini.
Betapa
mahalnya harga yang mesti dibayar jika dari tahun demi tahun peringatan
hari kemerdekaan itu hanya berbentuk seremonial belaka. Ketidakpedulian
terhadap makna yang tersirat dalam memperingati hari ulang tahun
kemerdekaan Indonesia tidak ubahnya bagaikan sebuah benih yang hendak
kita tanam untuk tumbuh berkembangnya paham-paham yang mendegradasi
nilai-nilai luhur nasionalisme yang sejak lama dierjuangkan oleh para
pahlawan Bangsa Indonesia. Padahal secara kasat mata dapat kita lihat
bahwa sampai hari ini kehidupan berbangsa dan bernegara masih saja
menghadapi munculnya wacana yang berupaya melunturkan nilai-nilai
nasionalisme, misalnya keinginan daerah tertentu untuk memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan adanya upaya-upaya membenturkan perbedaan suku, agama dan ras.
Salah satu kasus paling menarik dicermati untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang potensial menggerus nilai-nilai nasionalisme sampai hari ini adalah perbenturan sentimen “suku” dan “agama”, ironisnya yang sering berupaya menghangatkan dan
mempergunakan perbedaan ini sebagai perdebatan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat justru para elit politik. Hal ini dapat kita lihat
setiap kali terjadi proses pemilihan umum, baik itu pemilihan kepala
desa, pemilihan, legislatif (DPR/DPRD) maupun pemilihan eksekutif
(Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota).
Untuk
memperoleh suara pemilih, para elit politik masih sering melakukan
segmentasi calon konstituen berdasarkan sentimen suku dan agama, bahkan
berupaya melakukan diferensiasi dengan cara membangkitkan kesamaan suku
dan agama untuk mendapatkan dukungan masyarakat, sehingga tanpa disadari
bahwa masyarakat distimulus untuk menunjukkan adanya perbedaan
tersebut, padahal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mereka sudah
terbiasa hidup rukun dan bertenggang rasa dengan sesama.
Ironisnya
masyarakat juga banyak yang ikut larut dalam lenggam irama lahu yang
dimainkan para elit politik ini, sehingga tanpa disadari kemudian
terjadi kerenggangan bahkan salah paham diantara sesama masyarakat. Jika
tidak maintenance dengan
baik kondisi yang lahir dari kepentingan sesaat ini akan bagaikan api
dalam sekam yang suatu saat akan bisa marak bagaikan api jika ada orang
yang ingin menyulutnya. Oleh karena itu masyarakat khususnya semestinya
mulai menyadari tidak produktifnya budaya politik seperti ini dan mulai
menggeser kerangka berpikir dengan menjadikan kapasitas seseorang
sebagai ukuran untuk menentukan pilihan yang diberikan.
Elit
politik yang semestinya menjadi pengayom dan mengartikulasikan amanat
isi hati dan harapan masyarakat menuju peningkatan kesejahteraan
masyarakat harus menyadari betapa besar resiko yang ditimbulkan jika
pola pikir seperti ini masih tetap dipertahankan. Berdasarkan pengalaman
penulis mengikuti beberapa pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah,
issu sentiment ini justru dianggap paling “seksi” oleh para elit
politik sehingga sering dimainkan karena dalam pemikiran para pelaku
politik unsur SARA sangat mudah dipengaruhi dengan pendekatan emosional.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kedekatan emosional mempergunakan faktor suku
dan agama memang masih menarik dan gampang dilakukan ditengah-tengah
kehidupan masyarakat yang belum terbiasa menjadikan kapasitas sebagai
ukuran seseorang itu layak menjadi pilihan. Di Sumatera Utara yang
penduduknya sangat heterogen dan terdiri dari penduduk yang memiliki
beberapa sub-etnis atau suku ditambah lagi dengan jumlah pemeluk
masing-masing agama yang relatif besar jumlahnya menjadikan metode
pendekatan etnisitas dan agama menjadi pilihan utama yang sering
digiring di setiap pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga ada sebuah
ungkapan yang sering dipergunakan untuk menggerakkan kedekatan emosional
itu berbunyi “dang tumagon tu halak adong di hita”, terjemahan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini “ Lebih baik untuk kita daripada untuk orang lain”.
Fenomena
seperti ini tidak hanya di Sumatera Utara terjadi, bahkan hamper
terjadi di setiap daerah yang wilayahnya sudah di huni oleh masyarakat
yang plural, bahkan selain upaya melakukan pendekatan sukuisme,
kedekatan emosional secara agama merupakan pilihan yang paling sering
dilakukan karena dengan mempergunakan agama malah dianggap paling mudah
mengikat kedekatan emosional dengan calon konsituen atau pemilih.
Menjelang
peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang sebentar lagi dirayakan dan
bertepatan dengan tahun 2013 dan 2014 dianggap sebagai tahun politik
bagi bangsa Indoensia maka selayaknyalah kita kembali meletakkan
nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara kepada rel yang
sebenarnya, jangan hanya karena kepentingan politik sesaat justru tumbuh
subur sentimen sempit yang potensial memecah kebersamaan dan kepedulian
social bagi sesame. Hal ini sangat essensial karena tidak dapat
dihindari bahwa Bangsa Indonesia masyarakatnya sangat plural terdiri
dari bermacam-macam suku dan agama sehingga tanpa manajemen yang baik
akan mudah di sulut menjadi suatu perpecahan dan pertentangan secara
horizontal.
Memperingati
hari kemerdekaan Indonesia berarti kita harus kembali mengenang dan
menyegarkan kembali ingatan kita terhadap para pejuang dan pendiri
bangsa ini yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan
Indonesia, dan para pendiri bangsa Indonesia sejak awal telah meletakkan
pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui mengutamakan
kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan.
Hal ini dapat kita lihat pada proses menetapkan Pancasila sebagai
bintang penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam proses
pembicaraan tentang dasar negara tersebut para pendiri bangsa
menunjukkan betapa besarnya rasa cinta mereka terhadap perbedaan yang
ada di Indonesia melalui formulasi Pancasila yang dianggap mampu
mempersatukan perbedaan yang ada itu.
Di
tahun-tahun politik ini masyarakat khususnya dan para elit politik
kembali diajak untuk kembali meletakkan rasa cinta terhadap persatuan
nasional sebagai salah satu makna yang tersirat dalam nasionalisme
Indonesia menjadi permenungan bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga mampu
mengeyampingkan kepentingan sempit dan opurtinis yang potensial memicu
keretakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilihan umum dan pemiliah
Presiden yang akan dilaksanakan tahun depan alangkah indahnya jika kita
mampu memilih pemimpin yang memang benar-benar mampu membawa Indonesia
ke arah yang lenih baik, dan masyarakat Indonesia yang memiliki hak
menentukan pilihannya semoga tidak gampang terpengaruh oleh
intrik-intrik politik yang memainkan unsur suku dan agamaSumber artikel :http://politik.kompasiana.com
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
click for tour in Malang Regency
Check
Tidak ada komentar:
Posting Komentar