Tulang belulang berserakan di tepi jalan persis di muka rumah Beni,
warga Tlatar, Kabupaten Boyolali, Minggu (11/1). Tulang ayam, ikan, dan
puyuh dijemur di atas seng. Di atas meja yang berjarak dua meter dari
seng itu, terlihat kokoh kerangka warna putih berbentuk naga, burung
phoenix, dan sebuah miniatur sepeda motor Harley Davidson.
Kerajinan beraneka bentuk karya Beni (29) dan Mino (27) itu terbilang unik. Naga, burung phoenix, dan miniatur sepeda motor Harley Davidson itu disusun dari potongan tulang ayam dan ikan yang direkatkan. Naga sepanjang 1,5 meter, misalnya, moncongnya tersusun dari pecahan kepala ayam yang ditambah tulang punggung puyuh. Taring naga dari tulang-tulang ikan. Bentuk lain yang pernah mereka buat ialah sosok monster, ikan, dan kapal.
"Bahan bakunya kami ambil dari sisa pembuangan tulang di warung- warung makan di Boyolali. Untuk membersihkan tulangnya dari sisa daging, kami masukkan ke kolam lele di belakang rumah. Tiga hari kemudian diangkat," kata Beni.
Harga jual karya mereka cukup tinggi. Monster setinggi 50 sentimeter dibeli beberapa kolektor seharga Rp 400.000. Naga dan phoenix yang sedang mendapat sentuhan akhir akan ditawarkan sebesar Rp 7,5 juta per unit. Kedua kerajinan ini dihargai tinggi karena sulit dan lama pembuatannya. Mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk menyelesaikannya.
"Yang paling sulit itu memilih tulang-tulang yang cocok. Kami tidak membentuk tulangnya, tetapi menempelkan langsung tulang yang sesuai. Kalau harganya lebih tinggi dari biaya, jangan dilihat itu sebagai keuntungan, tetapi biaya kreativitasnya," kata Mino.
Lain lagi yang dilakukan Karsono, Ketua Yayasan An Nur di Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, Cilacap. Di tangan bapak tiga anak ini, serabut kelapa menjelma menjadi beraneka macam produk, seperti jok mobil, jok pesawat, jok sofa, matras, penyaring udara, bantal, dan guling.
Untuk menjadikan produk serabut kelapa itu makin bermutu, Karsono mencampurnya dengan latek atau getah karet. Maka, produk- produk itu pun bernama sebutret, yaitu serabut kelapa berkaret. Walhasil, produk hasil perpaduan dua bahan baku yang semula dianggap tak berguna itu mampu menembus pasar ekspor.
Karsono mulai menekuni usaha sebutret sejak 1,5 tahun silam. Permintaan hasil produksinya dari luar negeri datang dari sembilan negara, di antaranya Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa. Produk-produk itu sebagian dijual ke Bali dan Jakarta dengan harga Rp 2,5 juta per kubik.
"Satu negara rata-rata meminta minimal 150 kubik per bulan atau senilai Rp 450 juta. Bila sembilan negara, maka yang harus kami penuhi sampai 1.350 kubik per bulan," ujar Karsono.
Bahan baku untuk membuat sebutret juga sangat mudah dan murah didapatkan, yakni serabut kelapa yang harganya hanya Rp 60 per kilogram serta karet alam atau latek yang banyak terdapat di Cilacap.
Apa yang dilakukan Beni dan Mino, serta Karsono, tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan ekonomi kreatif. Mereka memanfaatkan bahan limbah yang semula mempunyai nilai ekonomi sangat rendah, bahkan tidak ada.
Hasilnya, luar biasa. Karsono, misalnya, dari usaha produksi sebutret itu mampu menghidupi 200 anak asuhnya yang nyantri di Pondok Pesantren An Nur. Selain mengaji di pondok, 200 santri itu mengerjakan pembuatan produk-produk sebutret. Mereka tak lagi pusing memikirkan uang sekolah dan mondok di pesantren karena semuanya gratis dicukupi dari hasil menjual sebutret.
Mungkin masih banyak lagi Beni, Mino, dan Karsono lainnya di Jawa Tengah ini. Selain itu, mungkin masih banyak potensi ekonomi kreatif lainnya di Jateng yang belum tergarap. (gal/han)
Diambil dari: www.kompas.com
Sumber artikel :
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
click for tour in Malang Regency
Check
Kerajinan beraneka bentuk karya Beni (29) dan Mino (27) itu terbilang unik. Naga, burung phoenix, dan miniatur sepeda motor Harley Davidson itu disusun dari potongan tulang ayam dan ikan yang direkatkan. Naga sepanjang 1,5 meter, misalnya, moncongnya tersusun dari pecahan kepala ayam yang ditambah tulang punggung puyuh. Taring naga dari tulang-tulang ikan. Bentuk lain yang pernah mereka buat ialah sosok monster, ikan, dan kapal.
"Bahan bakunya kami ambil dari sisa pembuangan tulang di warung- warung makan di Boyolali. Untuk membersihkan tulangnya dari sisa daging, kami masukkan ke kolam lele di belakang rumah. Tiga hari kemudian diangkat," kata Beni.
Harga jual karya mereka cukup tinggi. Monster setinggi 50 sentimeter dibeli beberapa kolektor seharga Rp 400.000. Naga dan phoenix yang sedang mendapat sentuhan akhir akan ditawarkan sebesar Rp 7,5 juta per unit. Kedua kerajinan ini dihargai tinggi karena sulit dan lama pembuatannya. Mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk menyelesaikannya.
"Yang paling sulit itu memilih tulang-tulang yang cocok. Kami tidak membentuk tulangnya, tetapi menempelkan langsung tulang yang sesuai. Kalau harganya lebih tinggi dari biaya, jangan dilihat itu sebagai keuntungan, tetapi biaya kreativitasnya," kata Mino.
Lain lagi yang dilakukan Karsono, Ketua Yayasan An Nur di Desa Tambaksari, Kecamatan Wanareja, Cilacap. Di tangan bapak tiga anak ini, serabut kelapa menjelma menjadi beraneka macam produk, seperti jok mobil, jok pesawat, jok sofa, matras, penyaring udara, bantal, dan guling.
Untuk menjadikan produk serabut kelapa itu makin bermutu, Karsono mencampurnya dengan latek atau getah karet. Maka, produk- produk itu pun bernama sebutret, yaitu serabut kelapa berkaret. Walhasil, produk hasil perpaduan dua bahan baku yang semula dianggap tak berguna itu mampu menembus pasar ekspor.
Karsono mulai menekuni usaha sebutret sejak 1,5 tahun silam. Permintaan hasil produksinya dari luar negeri datang dari sembilan negara, di antaranya Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa. Produk-produk itu sebagian dijual ke Bali dan Jakarta dengan harga Rp 2,5 juta per kubik.
"Satu negara rata-rata meminta minimal 150 kubik per bulan atau senilai Rp 450 juta. Bila sembilan negara, maka yang harus kami penuhi sampai 1.350 kubik per bulan," ujar Karsono.
Bahan baku untuk membuat sebutret juga sangat mudah dan murah didapatkan, yakni serabut kelapa yang harganya hanya Rp 60 per kilogram serta karet alam atau latek yang banyak terdapat di Cilacap.
Apa yang dilakukan Beni dan Mino, serta Karsono, tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan ekonomi kreatif. Mereka memanfaatkan bahan limbah yang semula mempunyai nilai ekonomi sangat rendah, bahkan tidak ada.
Hasilnya, luar biasa. Karsono, misalnya, dari usaha produksi sebutret itu mampu menghidupi 200 anak asuhnya yang nyantri di Pondok Pesantren An Nur. Selain mengaji di pondok, 200 santri itu mengerjakan pembuatan produk-produk sebutret. Mereka tak lagi pusing memikirkan uang sekolah dan mondok di pesantren karena semuanya gratis dicukupi dari hasil menjual sebutret.
Mungkin masih banyak lagi Beni, Mino, dan Karsono lainnya di Jawa Tengah ini. Selain itu, mungkin masih banyak potensi ekonomi kreatif lainnya di Jateng yang belum tergarap. (gal/han)
Diambil dari: www.kompas.com
Sumber artikel :
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
click for tour in Malang Regency
Check
Tidak ada komentar:
Posting Komentar