Artikel Agama Budha
Berdana Dengan Pengertian
Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera
Oleh: Yang Arya Bhikkhu Uttamo Thera
Berdana
dan melaksanakan Dhamma adalah Berkah Utama Saat ini akan dijelaskan
tentang Sangha Dana, atau mempersembahkan dana kepada anggota Sangha
diluar masa Kathina. Walaupun saat tersebut sudah tidak lagi di bulan
Kathina tetapi bukan berarti perbuatan baik yang akan dilakukan kemudian
menjadi kecil manfaatnya. Sebagai gambaran, kita akan melihat permainan
bulu tangkis. Dalam permainan ini ada beberapa peraturan dasar yang
harus kita patuhi. Ada garisnya, ada cocknya, ada pemainnya, ada raket,
kemudian pakaiannya pun khusus. Kita tidak dapat membayangkan andaikata
permainan bulu tangkis ini tidak mempergunakan cock melainkan
mempergunakan bola bekel, misalnya. Bagaimana bila bolanya di-smash dan
kena kepala lawan main, pasti benjol! Bola bekel untuk bulu tangkis
tidak akan cocok. Atau mungkin kita bisa membayangkan bulu tangkis
dengan mempergunakan cock tetapi bulunya tinggal satu helai. Jadi kalau
dipukul muntir-muntir. Tidak mungkin dipakai. Kita juga bisa tahu bahwa
para pemain bulu tangkis membutuhkan pakaian tertentu, celana pendek dan
kaos. Bayangkan saja bila kita sekarang bermain bulu tangkis dengan
mengenakan jas. Juga tidak mungkin, memang bukan pada tempatnya.
Demikianlah ibarat bermain bulu tangkis demikian pula berdana. Kalau
kita melihat permainan bulu tangkis ada yang memukul dan ada pula yang
menerima, pukul lagi, terima lagi, konsep berdana juga sama, ada yang
memberi dan ada yang menerima. Tapi si penerima tidak hanya menerima
saja melainkan juga diumpan kembali, terima lagi-umpan lagi, demikian
seterusnya. Karena seperti bulu tangkis yang membutuhkan beberapa
aturan, maka berdanapun untuk mencapai nilai puncak, mencapai point
tinggi, juga membutuhkan peraturan ataupun persyaratan. Persyaratan
pertama, dalam mempersembahkan dana kita hendaknya juga memperhatikan
barang yang hendak didanakan. Barang yang kita persembahkan hendaknya
barang yang bersih. Pengertian ‘bersih’ disini bukan berarti barang yang
steril, misalnya piring yang disterilkan. ‘Barang bersih’ artinya kita
mempersembahkan barang yang didapatkan dari perbuatan atau usaha yang
baik, bukan dari mencuri maupun merampok. Namun sering muncul pertanyaan
bagaimana kalau ada orang yang menjadi perampok budiman, merampoki
orang kaya kemudian hasilnya dibagikan kepada orang yang miskin. Apakah
perbuatan ini juga termasuk berdana? Sebenarnya perbuatan ini dapat
dimasukkan sebagai berdana tetapi berdana yang tidak sehat. Kalau ibarat
bulu tangkis tadi cocknya bulunya cuma satu helai, bisa dipergunakan
untuk bermain, tetapi bila dipukul akan muntir, tidak karuan dan
membingungkan. Jadi orang yang berdana bingung dan si penerima dana juga
bingung. Dana dengan cara sebagai perampok budiman akan menghasilkan
buah yang kecil. Hal ini disebabkan karena barang yang didanakan didapat
dari tindakan yang tidak benar. Akan jauh lebih baik bila kita berdana
dengan barang yang bersih, barang yang kita dapatkan dari hasil keringat
kita sendiri. Barang hasil perjuangan kita sendiri inilah yang memiliki
nilai tinggi sekali. Oleh karena itu, umat hendaknya mempersiapkan
persembahan dana Kathina ini dengan matang. mempersiapkan diri jauh
sebelum bulan Kathina datang. Menyiapkan diri dengan menabung setiap
hari sebagian penghasilannya sehingga bila telah tiba hari Kathina,
tabungan dibuka dan dipersembahkan.
Ada sebuah cerita dari negara Buddhis,
Thailand. Di Thailand para bhikkhu biasanya setiap pagi keluar vihara
untuk memberi kesempatan umat berbuat baik dengan mempersembahkan dana
makan. Kegiatan ini disebut Pindapatta. Pada waktu Pindapatta para
bhikkhu berjalan perlahan sambil membawa mangkuk melewati tempat-tempat
umum, kampung dan pasar. Pada suatu saat pernah terjadi seorang bhikkhu
yang sedang berjalan membawa mangkuknya. Ia melihat di pinggir sebuah
jembatan ada seorang pengemis yang sedang duduk. Pengemis itu memang
setiap hari kerjanya duduk di situ. Mengemis. Namun dia tidak pernah
mengemis kepada para bhikkhu. Suatu hari pengemis ini hendak
mempersembahkan dana makan berupa nasi bungkus kepada bhikkhu tersebut.
Si bhikkhu kaget dan berusaha menghindari si pengemis. Si bhikkhu
berpikir bahwa si pengemis ini sudah sulit hidupnya karena itu tidak
perlu mempersembahkan dana makan kepadanya. Akan tetapi, si pengemis
malah meratap dan bertanya apakah ia sebagai pengemis miskin tidak
diberi kesempatan berbuat baik? Mendengar kata-kata si pengemis, sang
bhikkhu timbullah hati welas asihnya dan diterimalah persembahan dana
makan dari si pengemis. Ternyata, si pengemis memang telah bertekad
bahwa sebagian dari jumlah uang yang diterimanya pada pagi itu akan
dipersembahkan kepada bhikkhu. Dana semacam ini dapat dikelompokkan
sebagai dana yang bersih. Dana yang bersih ini bila diibaratkan dengan
cock bulu tangkis tadi adalah bagaikan cock yang baru, mulus,
timbangannya cocok, tidak oleng-oleng kemana-mana. Oleh karena dana yang
diberikan ini betul-betul mulus, murni dari hasil dirinya sendiri.
Persyaratan kedua, barangnya baik.
Barang baik adalah barang yang tidak rusak sehingga dapat dipergunakan
sesuai dengan tujuannya. Misalnya, kita sekarang bekerja keras karena
mengetahui bahwa besok pagi akan mempersembahkan dana makan kepada para
bhikkhu. Dengan hasil yang telah dikumpulkan, kita mempersiapkan
makanan, tapi barangnya tidak baik, misalnya makanan yang sudah basi.
Hal itu termasuk barang yang bersih tetapi bukan barang baik. Keadaan
itu ibarat sebuah cock dengan timbangan baik, tetapi bulunya sudah kusut
tidak karuan karena terkena banyak smash.
Selain barang bersih, barang baik,
persyaratan ketiga adalah barang layak. Barang layak artinya adalah
barang yang sesuai dengan si penerima. Pantas. Janganlah kita
mempersembahkan sisir rambut kepada para bhikkhu. Sisir baru yang dibeli
dengan uang hasil kerja dalam hal ini memang barang yang bersih dan
baik tetapi tidak sesuai untuk dipergunakan para bhikkhu. Begitu pula
dengan mempersembahkan dana sepatu kepada para bhikkhu, tidak layak,
tidak pantas. Barang-barang semacam ini adalah barang yang tidak sesuai.
Oleh karena itu, sebelum kita
mempersembahkan dana, hendaknya kita renungkan terlebih dahulu apakah
barang yang kita persembahkan itu telah sesuai untuk para bhikkhu
ataukah kurang sesuai. Sesungguhnya para bhikkhu hanya membutuhkan empat
kebutuhan pokok saja yaitu sandang, pangan, papan dan obat-obatan.
Tidak ada yang lain. Sandang atau pakaian untuk para bhikkhu hanyalah
satu set jubah. Pangan atau makanan yang diperlukan oleh para bhikkhu
juga agak terbatas, terbatas waktu makannya. Para bhikkhu paling banyak
sehari hanya makan dua kali saja sebelum tengah hari. Setelah jam 12
siang, para bhikkhu berpuasa, tidak makan lagi, minum pun terbatas
jenisnya. Papan atau tempat tinggal untuk para bhikkhu biasanya berupa
vihara atau untuk beberapa waktu dapat tinggal di rumah yang disediakan
oleh umat. Obat-obatan untuk para bhikkhu biasanya juga telah banyak
tersedia di vihara. Keadaan ini kadang membuat para umat berpikir,
bagaimana umat dapat ber-pindapatta, padahal umat sering baru mempunyai
waktu ke vihara setelah jam 12 siang. Kemudian umat juga melihat bahwa
para bhikkhu telah memiliki cukup sandang, pangan, dan papan atau tempat
tinggal, serta obat-obatan di vihara. Sedangkan kebutuhan para bhikkhu
hanyalah empat saja, dan kebutuhan ini pun tidak selalu diperlukan
setiap saat, kecuali kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kemudian umat
mewujudkan empat kebutuhan pokok, sandang, pangan, papan dan obat-obatan
ini dalam bentuk materi penggantinya atau dalam bentuk uang.
Persembahan empat kebutuhan pokok dalam bentuk uang ini kemudian
dimasukkan ke dalam amplop. Namun, walaupun pada waktu itu yang
dipersembahkan adalah uang hendaknya dalam pikiran kita tetap
merenungkan bahwa kita berdana empat kebutuhan pokok yaitu, sandang,
pangan, papan dan obat-obatan seharga nilai nominal uang yang
dipersembahkan. Dengan mengingat hukum sebab dan akibat bahwa sesuai
dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik,
persembahan dana empat kebutuhan pokok itu akan dapat membuahkan
kebahagiaan dalam bentuk kecukupan empat kebutuhan pokok dalam kehidupan
kita. Sandangnya banyak macam, makanannya berlimpah ruah, tempat
tinggalnya lebih dari satu, fasilitas obat-obatan lengkap, dapat berobat
kemana-mana.
Berbicara tentang barang yang kita
berikan kalau ibarat bulutangkis tadi adalah bolanya, maka disamping
itu, bulutangkis juga perlu memperhatikan ketepatan waktu. Waktu memukul
bola hendaknya dilakukan bila bola sudah datang, jangan bolanya masih
dipegang musuh, kita sudah memukulnya, ketika bola datang kita malah
diam tidak bergerak. Hal ini salah. Jadi, waktu atau saat memukul ini
penting. Demikian pula, kapankah waktu kita berdana? Segera
dilaksanakan, adalah merupakan persyaratan yang keempat. Apabila pikiran
baik kita muncul, pada saat itu juga segera kerjakanlah. Jikalau kita
menunda mengerjakan suatu perbuatan baik maka ada kemungkinan kita
malahan membatalkan niat melakukan perbuatan baik itu, pikiran memang
mudah berubah. Pikiran yang baik bila diproses secara lambat malahan
hasilnya kita tidak jadi melakukan perbuatan apa-apa. Oleh karena itu,
kapankah kita melakukan perbuatan baik? Pada saat terpikir, pada saat
itu juga! Tidak perlu menunggu waktu lagi. Misalnya, kita akan berdana
kepada para bhikkhu, tidak perlu menunggu nanti hari Kathina tahun depan
saja. Kalau kita masih hidup. Kalau sudah meninggal? Hilanglah
kesempatan kita berbuat baik. Kita juga tidak perlu menunggu jumlah
bhikkhu yang hadir genap sembilan orang. Kalau bhikkhunya tidka datang
semua? Atau kita harus menunggu kalau jumlah bhikkhunya mencapai empat
orang karena jumlah itulah yang dapat disebut dengan Sangha. Itupun
pendapat yang salah. Biarlah, seadanya bhikkhu saja. Justru bukan jumlah
bhikkhu yang perlu kita pikirkan tetapi menjaga kondisi pikiran kita
agar tetap memiliki niat baik itulah yang penting. Oleh karena itu, bila
pikiran baik muncul, segera kerjakanlah.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering
muncul keinginan berdana tetapi jarang menjumpai bhikkhu. Kesulitan ini
dapat diatasi dengan cara mempersiapkan di rumah sebuah kotak dana
terkunci. Anak kunci kotak ini dapat dititipkan pada seorang bhikkhu
atau di vihara, misalnya. Jadi begitu timbul pikiran baik segera
masukkan uang ke kotak dana tadi. Perbuatan ini dapat kita ulang setiap
saat. Bila telah dirasa cukup dan masanya pun telah tiba, bolehlah kotak
dana tadi dibuka dan isinya diserahkan ke vihara. Beres. Oleh karena
itu, dalam berbuat kebaikan, hendaknya barangnya baik, bersih, sesuai,
kemudian waktunya pun hendaknya segera dilaksanakan.
Sebagai persyaratan kelima,
persembahan hendaknya sering dilakukan. Artinya bukan berdana sekali
seumur hidup dalam jumlah sebesar-besarnya kemudian tidak pernah
melaksanakannya lagi. Itu keliru. Contohnya, seseorang melaksanakan
pelepasan satwa sejumlah 1000 ekor burung tetapi kemudian seumur hidup
sudah tidak pernah dilakukannya lagi. Sikap ini juga kurang tepat, hal
ini berarti orang hanya mempunyai pikiran dan perbuatan baik sekali itu
saja. Dalam pengertian agama Buddha kita hendaknya sering memberi
kondisi pikiran dan perbuatan kita untuk melakukan kebaikan. Jadi, kalau
memang kita telah bertekad dalam satu tahun akan membebaskan makhluk
sebanyak seribu ekor, maka cobalah dibagi menjadi 20 kali melepas,
misalnya; jadi setiap kali melepas sekitar 50 ekor. Dengan demikian,
pikiran akan terkondisi untuk lebih sering berbuat baik. Jadi
sering-seringlah untuk melakukan kebaikan seperti badminton yang tidak
gampang turun bolanya karena para pemainnya trampil mengolah bola. Itu
baru permainan menarik. Tapi apabila baru sekali pukul kemudian bolanya
sudah jatuh, dipukul lagi, jatuh lagi. Sungguh permainan yang tidak
menarik. Hal itu sama dengan orang yang setahun sekali baru berbuat
baik, kurang besar manfaat bagi dirinya.
Apabila kita telah dapat melaksanakan
dana secara rutin, maka hendaknya kita berdana dengan pikiran yang baik.
Pikiran yang baik adalah persyaratan keenam. Diibaratkan pakaian orang
bermain badminton harus bercelana pendek dan memakai kaos olah raga.
Sulit dibayangkan bila seseorang hanya memakai salah satu dari pakaian
perlengkapan bermain badminton tadi. Hanya pakai celana tanpa baju atau
mengenakan baju tanpa celana…. Pikiran yang baik ini adalah pikiran
bahagia pada saat kita mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah
mempersembahkan dana. Ada sebuah cerita tentang orang yang berdana.
Hatinya senang ketika sedang mempersiapkan dana. Pada waktu
mempersembahkan dana, ia masih merasa senang, namun setelah
mempersembahkan dana timbullah penyesalan. Kondisi pikiran ini akan
membuahkan kelahiran kembali sebagai anak orang kaya. Sejak kecil banyak
harta dimilikinya. Kondisi kebahagian ini berlangsung sampai dengan ia
dewasa. Akan tetapi, di masa tuanya ia jatuh miskin. Penderitaan di hari
tua ini adalah buah penyesalannya setelah mempersembahkan dana tadi.
Sebaliknya, ada orang pada awalnya
merasa tidak senang melakukan perbuatan baik. Pada waktu mempersembahkan
dana juga memiliki pikiran yang kurang simpatik. Namun, setelah
mempersembahkan dana ia merasakan kebahagiaan. Apakah buah karma pikiran
semacam ini? Apabila ia terlahir kembali maka dimasa kecilnya ia
menderita; pada usia dewasa ia juga masih menderita namun dihari tuanya
ia akan berbahagia. Jadi kondiisi pikiran sebelum mempersembahkan dana
mewakili keadaan kita di masa kecil dalam kehidupan yang akan datang.
Kondisi pikiran ketika mempersembahkan dana mewakili usia dewasa.
Kondisi pikiran setelah mempersembahkan dana mewakili usia tua. Oleh
karena itu, sejak kecil, dewasa, sampai tua bahkan seumur hidup kita
akan bahagia bila pada waktu mempersiapkan, mempersembahkan dan setelah
mempersembahkan dana pikiran kita selalu berbahagia.
Kembali tentang perumpamaan permainan
bulu tangkis. Dalam permainan ini dibutuhkan para pemain. Para pemain
hendaknya telah mengetahui aturan mainnya. Dengan mengikuti aturan main
bulu tangkis maka permainan akan tertib, tidak kacau. Begitu pula dalam
berdana, si pemberi dan si penerima hendaknya mempunyai kemoralan sila
yang sama, minimal Pancasila Buddhis. Oleh karena itu, masalah tentang
perampok budiman di atas adalah seperti permainan bulu tangkis yang
tidak seimbang pemainnya. Seperti orang yang pandai badminton melawan
orang yang baru saja belajar. Pusing. Demikian pula perampok yang
mempersembahkan hasil rampokannya untuk vihara.
Begitu pula bila seorang wanita tuna
susila mempersembahkan dana. Dana yang dipersembahkan diperoleh dari
perbuatan yang melanggar sila. Memang dana itu masih tetap dapat
diterima, sebab bila tidak diterima, kapan lagi mereka memiliki
kesempatan berbuat baik dan memperbaiki keadaan? Jadi walaupun orang
yang diberi dan yang memberi ini tidak seimbang, tetapi tetap, tetap
bisa membawa manfaat. Seperti orang main badminton yang satu mengenakan
jas sedangkan pemain yang lainnya mengenakan pakaian olah raga. Juga
tidak apa-apa, masih tetap bisa bermain, hanya saja tidak seimbang.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum
berdana kita memohon sila terlebih dahulu, minimal Pancasila Buddhis.
Walaupun di luar gerbang Vihara ini kita telah melanggar salah satu sila
atau bahkan kelima-limanya, tetapi kalau di dalam kompleks Vihara
hendaknya kemoralan kita diperbaiki. Caranya adalah dengan memohon
tuntunan Pancasila Buddhis yang terdiri dari tekad untuk tidak melakukan
pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, bohong dan
mabuk-mabukkan. Dengan menjalankan tuntunan itu, minimal selama dalam
kompleks Vihara kemoralan kita menjadi lebih baik. Sehingga antara fihak
yang memberi dan yang diberi sudah seimbang kemoralannya. Hal ini akan
memperbesar manfaat dan buah kebjikannya. Permainan badmintonnya akan
enak dinikmati. Para umat memberi, para bhikkhu pun memberi. Para umat
memberikan materi yang diperoleh dari bekerja keras dalam masyarakat.
Sedangkan para bhikkhu memberikan buah kebajikan yang besar kepada para
umat yaitu dengan cara pengolahan diri sesuai Ajaran Sang Buddha,
pelaksanaan kemoralan dengan sebaik-baiknya. Sehingga para umat
benar-benar seperti menanam di ladang yang subur. Dana dari umat akan
dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sepiring nasi yang
dipersembahkan bukan hanya untuk main-main tetapi akan diolah oleh tubuh
para bhikkhu menjadi tenaga untuk menjaga kesehatan, menyambung
kehidupan dan sekaligus untuk tenaga membabarkan Buddha Dhamma. Dengan
demikian, sepiring nasi yang dipersembahkan, nilainya bukan lagi harga
nominal sepiring nasi sewaktu dibeli. Bukan. Sepiring nasi ini nilainya
menjadi nilai Dhamma, karena telah diubah menjadi tenaga untuk
membabarkan dan melestarikan Buddha Dhamma. Di dalam Dhammapada XXIV, 21
dikatakan bahwa Pemberian Kebenaran (Dhamma) mengalahkan segenap
pemberian lainnya. Dengan sepiring nasi yang dipersembahkan kepada para
bhikkhu sama dengan melaksanakan Dhammadana. Jenis dana yang paling
tinggi untuk dipersembahkan. Dengan menerima persembahan kebutuhan
sandang, pangan, papan dan obat-obatan, para bhikkhu dapat
memanfaatkannya untuk pembabaran Dhamma di daerah-daerah lain. Dengan
demikian, hasil setiap tetes keringat yang diberikan kepada para bhikkhu
akan diubah menjadi Dhammadana. Buah Dhammadana ini juga akan dinikmati
sendiri oleh si pemberi dalam kehidupan ini.
Itulah hal yang bisa dilakukan dalam
permainan bulu tangkis perbuatan baik ini. Para umat memberikan dukungan
moral, kemudian memberikan dukungan material, menunjang kehidupan para
bhikkhu. Para bhikkhu pun memberikan dukungan mental kepada para umat
dengan memberikan contoh moral serta berjuang dalam kebajikan. Para
bhikkhu pun selalu merenungkan dan mengingatkan diri sendiri, bahwa para
umat telah menunjang kehidupan para bhikkhu selama menjalani kehidupan
kebhikkhuan. Jadi, bila seorang bhikkhu telah 23 tahun menjadi bhikkhu,
berarti selama 23 tahun pula hidupnya disokong oleh umat. Padahal, para
umat bukanlah sanak maupun keluarganya. Umat dengan rela dan ikhlas
telah menyantuni kehidupan para bhikkhu sampai sekian lama. Apakah
sekarang balas jasa para bhikkhu kepada umat? Seperti dalam permainan
bulu tangkis tadi, bila seorang pemain setelah mendapatkan bola
hendaknya segera mengembalikannya kepada pemain yang lain. Demikian pula
dengan para bhikkhu, setelah menerima persembahan hendaknya
mengembalikannya lagi kepada umat dengan cara meningkatkan semaksimal
mungkin perjuangan dalam Dhamma dan pelaksanaan peraturan kemoralan.
Sehingga semakin banyak umat menanam kebajikan, semakin lebat pula buah
kebajikan yang diterimanya.
Sumber artikel :http://artikelbuddhist.com
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
click for tour in Malang Regency
Check
Tidak ada komentar:
Posting Komentar