Ha... ini oma turis Belanda lagi liat gambar tempo doeloe di Toko Oen Malang. Sudah tua maar masih tjakep.
Lama kita orang tidak jalan-jalan ke Malang. Kota dingin di Jawa Timur ini punya hawa sejuk, bersih, lalu lintas belum macet, en punya begitu banyak gedung-gedung tua. Yah, itu lho peninggalan Londo kolonial ada tersebar di seantero kota. Kita orang bisa jalan kaki, potret, sambil membayangkan suasana Malang tempo doeloe.
Nah, Minggu, 17 Februari 2008, beta menyempatkan jalan-jalan di Malang. Tidak terlalu jauh sih: alun-alun bunder [balai kota], Kayutangan,
alun-alun besar, pertokoan, kota lama, bali kucing ke Kayutangan. Ini pusat keramaian Malang tempo doeloe en tempo sekarang. Gerimis sedikit, tapi bagus lah untuk melenyapkan kita punya lelah, bukan?
Habis baca-baca dan beli dua buku di Gramedia [buku jurnalisme dan bahasa pernak-pernik Indonesia], beta mampir ke tokoh sebelah. Toko OEN namanya, berdiri sejak tahun 1930. Dus, ini tempat makan-makan atawa restoran bersuasana tempo doeloe, paling terkenal di Kota Malang. Bule-bule Belanda en dia punya keturunan belum pas kalau belum mampir satu dua menit di Toko OEN.
Ada tulisan besar-besar di tempat kasir:
WELKOM IN MALANG. TOKO "OEN" DIE SINDS 1930 AAN DE GASTEN GEZELLIGHEID GEEFT.
Apa artinya, silakan tuan-tuan terjemahkan sendiri karena saya kurang paham bahasa Belanda. Dulu pernah ikut kursus dasar bahasa Belanda di Surabaya, maar beta sudah lupa-lupa ingat. Bahasa itu kalau jarang dipake, gak dibiasakan, lama-lama, ya, hilang. Kira-kira artinya: Selamat datang di Malang. Toko "Oen" berdiri sejak 1930.
Kalau saiki tahun 2008 berarti Toko Oen punya usia 78 taon. Cukup tua, tapi beta kira belum terlalu berumur untuk ukuran gedung-gedung kolonial. Kita orang kan merdeka taon 1945. Jadi, si Oen ini baru buka toko es krim, roti, en restoran 15 tahun sabelomnya proklamasi 17 Agustus 1945. Tapi rupanya directeur Toko Oen sengaja mengangkat nuansa tempo doeloe sebagai added value dia punya toko.
"A colonial landmark and prominent resaturant," begitu slogan Toko Oen.
Kalau beta tra salah hitung, ada 18 meja di sini. Menurut pelayan-pelayan yang pakai seragam kemeja putih lengan panjang dan panatalon item, semua meja dan kursi di Toko Oen masih orisinal. Mereka rawat semua meja kursi dan perkakas-perkakas laen dengan sangat baik sehingga taham zaman. Mereka usahakan agar suasana era Hindia-Belanda tahun 1930-an bisa dirasakan kita orang di taon 2008.
"Selamat siang, selamat datang," berkata laki-laki pelayan badan kurus dengan ramah.
Keramahan standar restoran internasional lah. Lalu, dia kasih liat itu daftar makanan dan minuman mulai yang Barat, Indonesia, es krim, jus buah, camilan, dan sebagainya. Saya dikasih waktu kira-kira 10 menit untuk merenung, barangkali, lalu dia datang lagi. "Cukup nasi goreng, kopi, jus apel," kata saya. "Oke, tunggu beberapa menit ya! Dank u wel," kata teman kita ini.
Saya lalu buka buku baru tadi, baca-baca selintas, sambil tunggu itu pesanan makanan en minuman. "Ini kopinya, Pak," kata pelayan ramah.
Sambil baca, sekali-sekali nyeruput kopi, saya perhatikan pengunjung Toko Oen. Ada lima menja yang terisi, dus agak sepi. Tidak ada musik lamat-lamat untuk sekadar hiburan. Akan sangat bagus, misalnya, diputar lagu-lagu pop era Hindia-Belanda, 1930-an, entah itu krontjong, stamboel, atawa Heintje, penyanyi bocah ajaib yang sangat terkenal tempo doeloe. Rupanya teman-teman di Toko Oen ini kurang kreatif atau kenapa, beta tak sempat tanya.
Ada perempuan yang rupanya mirip orang Eropa bicara keras-keras, ngalor-ngidul, pakai bahasa gado-gado: Indonesia, Jawa, Belanda, Inggris. Tapi paling banyak bau Londonya, sehingga saya bisa pastikan ibu 60-an tahun ini keturunan Belanda alias Indo.
Hehehe.... barangkali dia mau kasih pamer dia punya bahasa Belanda yang diwariskan papa-mama serta oma-opanya. Baguslah! Bahasa itu kalau tidak pernah dipakai, lama-lama bisa hilang, bukan? Tak sabrapa lama kemudian nongol dua orang bule: oma-opa jalan bersama. Mesra banget en bisa bikin kita orang iri. Siapa yang tra senang lihat suami-istri bisa rukun damai, bahagia, romantis, sampai oma-opa, bukan? Kita orang musti contoh itu meskipun orang Indonesia belum umum bermesraan, cium-ciuman, dengan pasangan di muka umum.
Si Oma omong bahasa Belanda sama suaminya [beta masih tangkap een beitje atawa sedikit-sedikit lah], lalu jeprat-jepret suasana di dalamnya Toko Oen. Gambar-gambar di dinding juga difoto untuk kenang-kenangan kalau sudah balik ke Belanda. Beta hitung ada tujuh buah gambar Malang tempo doeloe yang dipajang di dalemnya Toko Oen. Termasuk gambar Gereja Hati Kudus Yesus, Kayutangan, yang persis berada di depan Toko Oen.
Beta lihat oma-opa turis ambil gambar para jemaat Katolik yang hendak misa kudus, maar mereka rupanya tak berminat masuk ke dalemnya gereja. Bisa jadi dorang heran dengan kita di sini: kok masih pigi gereja dan menghabiskan waktu 90 menit untuk misa dan dengar khotbahnya romo-romo yang kadang bikin ngantuk itu. Hehehe....
Pukul 17.00 datang rombongan turis sekitar 20 orang. Tujuh orang masuke ke dalemnya Toko Oen, sedangkan yang laen terus jalan kaki ke arah alun-alun. Tambah sore suasana tambah meriah. Dari 18 meja tinggal empat meja yang belom terisi. En itu berarti beta harus tahu diri.
Toh, beta sudah menghabiskan waktu kira-kira 90 menit menikmati suasana Malang tempo doeloe di dalemnya Toko Oen. Alhasil, tagihan yang harus saya bayar Rp 39.000 plus pajak 10%. Dank u wel! Tot straks!
Kalau saudara-saudari tertarik, catet baik-baik alamatnya Toko Oen:
Jalan Basuki Rachmat Nomor 5 Malang, Jawa Timur.
Teleponnya: (0341) 364 052
Sumber artikel :http://hurek.blogspot.com/2008/02/pelesir-di-toko-oen-malang.html
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto :
Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini.
Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
www.MestiMoco.com