"Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya."
Pepatah populer di kalangan Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa.
Tiap hari ratusan orang Tionghoa [dan warga lain] naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus cuti bersama Lebaran ini sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.
"Pokoknya selalu ramai, Mas,'' ujar Ahmad [nama samaran], pemandu wisata yang mengantar saya ke Gunung Kawi pada hari pertama Lebaran, Sabtu, 13 oktober 2007.
Ahmad tidak salah. Saat berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju pusat wisata utama [makam dan kelenteng], saya melihat lautan manusia. Macam pasar malam. Pengemis ada sekitar seratus orang [anak-anak sampai orang tua]. Toko-toko suvenir berdempetan hingga pesarehan.
Penginapan, kata Ahmad, lebih dari 10 buah, dengan tarif Rp 30.000 hingga Rp 200.000. Restoran Tionghoa yang menawarkan sate babi dan makanan tidak halal [buat muslim] cukup banyak. Tukang ramal nasib. Penjual kembang untuk nyekar. Penjual alat-alat sembahyang khas Tionghoa. Belum lagi warung nasi dan sebagainya.
''Gunung kok ramai begini kayak di kota? Saya pikir yang namanya gunung itu jalan setapak, sepi, serba alami,'' komentar saya.
''Gunung Kawi yang begini ini. Fasilitasnya sudah direnovasi oleh yayasan, ya, pakai uang sumbangan pengunjung. Mereka yang dapat rezeki, usahanya lancar, sumbang macam-macam. Akhirnya, dibuat bagus seperti sekarang,'' tutur Ahmad, 33 tahun, asli Wonosari.
Dia sudah beberapa tahun menjadi pemandu wisata sekaligus pembawa barang-barang pengunjung macam saya. Ahmad tahu banyak seluk-beluk Gunung Kawi. Usai kunjungan, kita bebas memberikan tips kepadanya. Tidak pakai tarif-tarifan buat guide ala Gunung Kawi.
Apa yang dicari orang-orang di Gunung Kawi? Kekayaan? Rezeki? Usaha lancar? Macam-macam lah niat orang. Saya sendiri datang karena penasaran saja. Tidak lebih. ''Ya, kita olang mo beldoa semoga dikasih rejeki. Pokoke, usaha kita olang lancal lah,'' ujar seorang ibu asal Surabaya dengan logat khasnya.
Jawaban sejenis disampaikan pengunjung lain. Karena itu, warga Jawa Timur kerap mencitrakan Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan. Tapi, bagi kalangan kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual kejawen diadakan di sini secara teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.
Di Gunung Kawi ada makam dua tokoh kejawen: RM Imam Soedjono [wafat 8 Februari 1876] dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego [wafat 22 Januari 1871]. Keterangan tertulis di prasasti depan makam menyebutkan, Mbah Djoego ini buyut dari Susuhanan Pakubuwono I [yang memerintah Kraton Kertosuro 1705-1717]. Adapun RM Imam Soedjono buyut dari Sultan Hamengku Buwono I [memerintah Kraton Jogjakarta pada 1755-1892].
Jadi, kedua tokoh ini orang Islam, dimakamkan secara Islam serta adat kraton. Makam keduanya berdampingan di gedung utama. Ada larangan keras untuk memotret atau mengambil gambar saat kita masuk kompleks ziarah utama ini. Para pekerja, semua berbusana adat Jawa, mengawasi semua pengunjung dengan keramahan yang khas.
Kalau masuk makam dua mbah ini, anda harus membeli kembang seharga Rp 2.000. Sebelumnya, bayar retribusi untuk Desa Wonosari Rp 2.000. Lalu, kita menyerahkan KTP [kartu tanda penduduk] atau identitas lain di satpam untuk didaftar nama dan alamat kita. Sumbang lagi uang tapi sukarela. Jangan kaget kalau anda menjumpai banyak sumbangan atau retribusi di aset wisata Kabupaten Malang ini.
Saat saya masuk ke kompleks Gunung Kawi, hampir 99 persen warga keturunan Tionghoa. Anak-anak, remaja, profesional muda, hingga kakek-nenek. Saya heran orang-orang itu bersembahyang layaknya di kelenteng. Masuk ke makam, jalan keliling makam, sambil membuat gerakan menyembah macam di kelenteng. Tidak ada arahan atau instruksi, mereka semua melakukan gerakan-gerakan itu.
Saya bisa pastikan, hampir tidak ada Tionghoa itu yang beragama Islam. Kok begitu menghormati dan sembahyangan di depan makam Imam Soedjono dan Mbah Djoego? Apa mereka tahu siapa yang dimakamkan di situ? Belum lagi kalau kita bahas secara teologi Islam atau Kristiani tentang boleh tidaknya melakukan ritual di Gunung Kawi.
"Memang, Mas, semua orang yang datang pertama kali di Gunung Kawi pasti bertanya begitu. Saya juga nggak tahu kenapa. Yang jelas, sejak dulu ya begitu. Kalau sudah tradisi dan kepercayaan orang, ya, mau apa lagi?" kata Ahmad dengan sangat sopan.
Para pemandu wisata di Gunung Kawi berusaha tidak menyinggung kepercayaan atau agama orang lain. Selain sensitif, mereka tak ingin bisnis mereka terganggu. Harus diakui, warga Desa Wonosari mendapat banyak berkah dari objek wisata Gunung Kawi. Tak sedikit penduduk mengais rezeki di kawasan Gunung Kawi mulai pemandu wisata, penjual bunga, warung, satpam, parkir, dan sebagainya.
Selain berdoa sendiri-sendiri, Yayasan Gunung Kawi menawarkan paket ritual tiga kali sehari: pukul 10.00, pukul 15.00, pukul 21.00. Ritual ini dipimpin dukun atau tukang doa setempat, namun harus pakai sesajen untuk selamatan. Siapa yang mau ikut daftar dulu di loket.
Saya lihat antrean pendaftar Sabtu siang itu sangat banyak. Tarif barang-barang selamatan ditulis jelas di loket yang bagus. Ada dua tipe selamatan agar ujud anda [dapar rezeki, usaha lancar] tercapai. Bagi mereka yang percaya! Tidak percaya, ya, nggak apa-apa!
Pengunjung antre membeli barang-barang untuk keperluan ritual selamatan. Sangat mahal untuk ukuran rata-rata orang Indonesia.
Mau tahu tarif selamatan?
Berikut beberapa item yang sempat saya ingat:
Minyak tanah Rp 60.000
Solar Rp 100.000
Minyak goreng Rp 250.000
Beras Rp 400.000
Kambing Rp 500.000
Sapi Rp 7.500.000
Ayam Rp 25.000
Wayang kulit Rp 750.000
Ruwatan Rp 4.000.000
[Masih ditambah beberapa elemen lain yang sudah tentu menguras dompet pengunjung. Toh, antrean sangat panjang dari saudara-saudari kita yang hendak memburu rezeki di Gunung Kawi.]
Melihat nilai rupiah itu, saya geleng-geleng kepala. Berdoa kok mahal banget? Apa ada jaminan jadi kaya? Apa Tuhan perlu begitu banyak sayur, makanan, daging, wayang kulit, ruwatan...? Kalau kita miskin, tak punya uang, apa harus utang untuk membeli barang-barang itu?
"Itu terserah pengunjung, Mas. Mereka yang percaya ya, nggak akan keberatan," jelas Ahmad sambil tersenyum.
Di luar kompleks makam, ada Kelenteng Kwan Im. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan warga Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Minta apa ya? Kekayaan bin rezeki? Sayang, saya tidak sempat bertanya karena suasana tidak memungkinkan. Juga ada ciamsi: ajang meramal nasib ala Tionghoa.
Sekitar enam kilometer dari kompleks makam ada pertapaan Gunung Kawi. Jalannya bagus. Kompleks ini pun penuh dengan ornamen Tionghoa. Di ruang utama ada tiga dukun yang siap menerima kedatangan tamu, berdoa agar rezeki lancar. Tapi sebelum itu si dukun membeberkan tarif selamatan yang jutaan rupiah seperti tertera di daftar harga di atas. Ah, keluar uang lagi!
Pepatah populer di kalangan Tionghoa ini bisa menjelaskan kenapa Gunung Kawi di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sangat populer. Kawi bukan gunung tinggi, hanya sekitar 2.000 meter, juga tidak indah. Tapi gunung ini menjadi objek wisata utama masyarakat Tionghoa.
Tiap hari ratusan orang Tionghoa [dan warga lain] naik ke Gunung Kawi. Masa liburan plus cuti bersama Lebaran ini sangat ramai. Karena terkait dengan kepercayaan Jawa, Kejawen, maka kunjungan biasanya dikaitkan dengan hari-hari pasaran Jawa: Jumat Legi, Senin Pahing, Syuro, dan Tahun Baru.
"Pokoknya selalu ramai, Mas,'' ujar Ahmad [nama samaran], pemandu wisata yang mengantar saya ke Gunung Kawi pada hari pertama Lebaran, Sabtu, 13 oktober 2007.
Ahmad tidak salah. Saat berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju pusat wisata utama [makam dan kelenteng], saya melihat lautan manusia. Macam pasar malam. Pengemis ada sekitar seratus orang [anak-anak sampai orang tua]. Toko-toko suvenir berdempetan hingga pesarehan.
Penginapan, kata Ahmad, lebih dari 10 buah, dengan tarif Rp 30.000 hingga Rp 200.000. Restoran Tionghoa yang menawarkan sate babi dan makanan tidak halal [buat muslim] cukup banyak. Tukang ramal nasib. Penjual kembang untuk nyekar. Penjual alat-alat sembahyang khas Tionghoa. Belum lagi warung nasi dan sebagainya.
''Gunung kok ramai begini kayak di kota? Saya pikir yang namanya gunung itu jalan setapak, sepi, serba alami,'' komentar saya.
''Gunung Kawi yang begini ini. Fasilitasnya sudah direnovasi oleh yayasan, ya, pakai uang sumbangan pengunjung. Mereka yang dapat rezeki, usahanya lancar, sumbang macam-macam. Akhirnya, dibuat bagus seperti sekarang,'' tutur Ahmad, 33 tahun, asli Wonosari.
Dia sudah beberapa tahun menjadi pemandu wisata sekaligus pembawa barang-barang pengunjung macam saya. Ahmad tahu banyak seluk-beluk Gunung Kawi. Usai kunjungan, kita bebas memberikan tips kepadanya. Tidak pakai tarif-tarifan buat guide ala Gunung Kawi.
Apa yang dicari orang-orang di Gunung Kawi? Kekayaan? Rezeki? Usaha lancar? Macam-macam lah niat orang. Saya sendiri datang karena penasaran saja. Tidak lebih. ''Ya, kita olang mo beldoa semoga dikasih rejeki. Pokoke, usaha kita olang lancal lah,'' ujar seorang ibu asal Surabaya dengan logat khasnya.
Jawaban sejenis disampaikan pengunjung lain. Karena itu, warga Jawa Timur kerap mencitrakan Gunung Kawi sebagai tempat pesugihan. Tapi, bagi kalangan kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual kejawen diadakan di sini secara teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.
Di Gunung Kawi ada makam dua tokoh kejawen: RM Imam Soedjono [wafat 8 Februari 1876] dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego [wafat 22 Januari 1871]. Keterangan tertulis di prasasti depan makam menyebutkan, Mbah Djoego ini buyut dari Susuhanan Pakubuwono I [yang memerintah Kraton Kertosuro 1705-1717]. Adapun RM Imam Soedjono buyut dari Sultan Hamengku Buwono I [memerintah Kraton Jogjakarta pada 1755-1892].
Jadi, kedua tokoh ini orang Islam, dimakamkan secara Islam serta adat kraton. Makam keduanya berdampingan di gedung utama. Ada larangan keras untuk memotret atau mengambil gambar saat kita masuk kompleks ziarah utama ini. Para pekerja, semua berbusana adat Jawa, mengawasi semua pengunjung dengan keramahan yang khas.
Kalau masuk makam dua mbah ini, anda harus membeli kembang seharga Rp 2.000. Sebelumnya, bayar retribusi untuk Desa Wonosari Rp 2.000. Lalu, kita menyerahkan KTP [kartu tanda penduduk] atau identitas lain di satpam untuk didaftar nama dan alamat kita. Sumbang lagi uang tapi sukarela. Jangan kaget kalau anda menjumpai banyak sumbangan atau retribusi di aset wisata Kabupaten Malang ini.
Saat saya masuk ke kompleks Gunung Kawi, hampir 99 persen warga keturunan Tionghoa. Anak-anak, remaja, profesional muda, hingga kakek-nenek. Saya heran orang-orang itu bersembahyang layaknya di kelenteng. Masuk ke makam, jalan keliling makam, sambil membuat gerakan menyembah macam di kelenteng. Tidak ada arahan atau instruksi, mereka semua melakukan gerakan-gerakan itu.
Saya bisa pastikan, hampir tidak ada Tionghoa itu yang beragama Islam. Kok begitu menghormati dan sembahyangan di depan makam Imam Soedjono dan Mbah Djoego? Apa mereka tahu siapa yang dimakamkan di situ? Belum lagi kalau kita bahas secara teologi Islam atau Kristiani tentang boleh tidaknya melakukan ritual di Gunung Kawi.
"Memang, Mas, semua orang yang datang pertama kali di Gunung Kawi pasti bertanya begitu. Saya juga nggak tahu kenapa. Yang jelas, sejak dulu ya begitu. Kalau sudah tradisi dan kepercayaan orang, ya, mau apa lagi?" kata Ahmad dengan sangat sopan.
Para pemandu wisata di Gunung Kawi berusaha tidak menyinggung kepercayaan atau agama orang lain. Selain sensitif, mereka tak ingin bisnis mereka terganggu. Harus diakui, warga Desa Wonosari mendapat banyak berkah dari objek wisata Gunung Kawi. Tak sedikit penduduk mengais rezeki di kawasan Gunung Kawi mulai pemandu wisata, penjual bunga, warung, satpam, parkir, dan sebagainya.
Selain berdoa sendiri-sendiri, Yayasan Gunung Kawi menawarkan paket ritual tiga kali sehari: pukul 10.00, pukul 15.00, pukul 21.00. Ritual ini dipimpin dukun atau tukang doa setempat, namun harus pakai sesajen untuk selamatan. Siapa yang mau ikut daftar dulu di loket.
Saya lihat antrean pendaftar Sabtu siang itu sangat banyak. Tarif barang-barang selamatan ditulis jelas di loket yang bagus. Ada dua tipe selamatan agar ujud anda [dapar rezeki, usaha lancar] tercapai. Bagi mereka yang percaya! Tidak percaya, ya, nggak apa-apa!
Pengunjung antre membeli barang-barang untuk keperluan ritual selamatan. Sangat mahal untuk ukuran rata-rata orang Indonesia.
Mau tahu tarif selamatan?
Berikut beberapa item yang sempat saya ingat:
Minyak tanah Rp 60.000
Solar Rp 100.000
Minyak goreng Rp 250.000
Beras Rp 400.000
Kambing Rp 500.000
Sapi Rp 7.500.000
Ayam Rp 25.000
Wayang kulit Rp 750.000
Ruwatan Rp 4.000.000
[Masih ditambah beberapa elemen lain yang sudah tentu menguras dompet pengunjung. Toh, antrean sangat panjang dari saudara-saudari kita yang hendak memburu rezeki di Gunung Kawi.]
Melihat nilai rupiah itu, saya geleng-geleng kepala. Berdoa kok mahal banget? Apa ada jaminan jadi kaya? Apa Tuhan perlu begitu banyak sayur, makanan, daging, wayang kulit, ruwatan...? Kalau kita miskin, tak punya uang, apa harus utang untuk membeli barang-barang itu?
"Itu terserah pengunjung, Mas. Mereka yang percaya ya, nggak akan keberatan," jelas Ahmad sambil tersenyum.
Di luar kompleks makam, ada Kelenteng Kwan Im. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan warga Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Minta apa ya? Kekayaan bin rezeki? Sayang, saya tidak sempat bertanya karena suasana tidak memungkinkan. Juga ada ciamsi: ajang meramal nasib ala Tionghoa.
Sekitar enam kilometer dari kompleks makam ada pertapaan Gunung Kawi. Jalannya bagus. Kompleks ini pun penuh dengan ornamen Tionghoa. Di ruang utama ada tiga dukun yang siap menerima kedatangan tamu, berdoa agar rezeki lancar. Tapi sebelum itu si dukun membeberkan tarif selamatan yang jutaan rupiah seperti tertera di daftar harga di atas. Ah, keluar uang lagi!
Sumber artikel :
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
www.MestiMoco.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar