Sendangsono di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta, merupakan tempat ziarah utama umat Katolik di Indonesia. Tiap hari selalu ramai. Puncaknya pada Mei dan Oktober, bulan Maria. Kebanyakan peziarah berasal dari tempat-tempat jauh macam Jakarta [dan sekitar], Bandung, Surabaya, Malang, Kalimantan, Sulawesi, bahkan luar negeri.
Peziarah berdoa, meditasi, refleksi [juga melamun] di depan Gua Maria Lourdes. Gua yang diberkati pada 8 Desember 1929 ini merupakan gagasan Romo JB Prennthaler SJ, pastor asal Austria. Patung Maria setinggi 180 cm didatangkan dari Denmark, diangkut 30 laki-laki, jalan kaki melintasi perbukitan Menoreh.
Mengapa disebut Sendangsono? Karena ada sendang [sumber air] di bawah pohon sono [angsana] yang berusia ratusan tahun. Awalnya ada dua pohon, tapi sekarang tinggal satu. Tak jauh dari situ ada pohon beringin besar. Ini membuat suasana tempat ziarah sangat sejuk dan nyaman. Tempo dulu warga desa setempat percaya bahwa pohon besar itu ada penghuninya bernama Dewi Lantamsari dan Den Bagus Samijo. Setelah dijadikan tempat ziarah, si penunggu terusir karena diganti Bunda Maria.
Pada 14 Desember 1904 Romo Fransiscus van Lith SJ membaptis 171 warga Sendangsono. Peristiwa ini sangat bersejarah, sebagai jemaat Katolik pertama di tanah Jawa. Sendangsono menjadi pusat Katolik di Jawa mula-mula. Orang Belanda bilang Bethlehem van Java alias Bethlehem-nya Jawa. Nah, untuk mengenang peristiwa ini, 25 tahun kemudian, Romo Prennthaler SJ [pengganti Romo van Lith] mendirikan Gua Maria di bawah dua pohon sono dan sendang Dusun Semagung. Dua misionaris bule ini--Romo van Lith dan Romo Prennthaler--menjadi pahlawan umat Katolik di tanah Jawa.
Sumber air atau sendang di Dusun Semagung, Kalibawang, di bawah pohon sono ini dipakai Romo van Lith untuk membaptis 171 orang Semagung dan sekitarnya pada 14 Desember 1904. Sumber ini tak pernah kering sampai sekarang.
Makam almarhum Barnabas Sarikromo, guru agama Katolik atau katekis pertama di tanah Jawa. Pak Barnabas-lah yang memberikan pelajaran agama kepada 171 warga Semagung sehingga mereka dibaptis oleh Romo van Lith SJ. Pak Barnabas sendiri lebih dulu dibaptis di Muntilan juga oleh Romo van Lith pada 20 Mei 1904 setelah penyakit boroknya dirawat Bruder Th. Kersten SJ di Muntilan. Usai dikatolikkan, Barnabas berkomitmen menjadi guru agama tanpa dibayar demi 'njembarke kraton nDalem'.
Rombongan peziarah sering membawa pembimbing rohani atau romo sendiri. Di gambar ini umat dari Jakarta mengikuti misa yang dipimpin Romo Nano. Di samping Gua Maria ada Kapel Tritunggal Mahakudus untuk perayaan ekaristi. Umat duduk lesehan selama misa berlangsung. Sementara peziarah lain bikin agenda sendiri tanpa saling mengganggu. Masih ada dua kapel lain, yakni Kapel Maria [untuk umat Stasi Sendangsono] dan Kapel Para Rasul di bawah pohon asam jawa.
Tempat ziarah ini diperluas dua kali. Desain dibuat oleh almarhum Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr--arsitek, pastor, novelis, budayawan, pekerja sosial, tokoh pendidikan--pada 1972. Romo Mangun membangun tempat peziarah ini dengan prinsip tidak merusak alam. Tanah berbukit dibiarkan apa adanya, tidak digali atau dirusak. Di sini banyak undakan dengan motif cantik karena Romo Mangun mengikuti kontur-kontur tanah sesuai dengan aslinya. Luas kompleks ini sekitar 0,5 hektare.
Peziarah berdoa jalan salib dari Stasi I sampai Stasi XIV di kompleks ini. Rutenya pendek. Selama berada di Sendangsono kita sangat sering melihat rombongan melakukan jalan salib bersama atau sendiri-sendiri. Ziarah tanpa jalan salib tidak afdal. Nyanyian khas jalan salib pun kerap terdengar:
"Mari kita merenungkan
penebusan umat Tuhan
meresapkan dalam hati
cinta kasih ilahi...."
Usai jalan salib dan berdoa di depan Gua Maria, peziarah mengambil air sendangsono. Air dari sumber di bawah pohon sono ini dianggap 'suci' karena sudah diberkati oleh Romo van Lith pada 14 Desember 1904 untuk membaptis 171 orang Dusun Semagung. Karena bersih dan sudah diproses, air ini bisa diminum, buat cuci muka, dan sebagainya. Peziarah biasanya membawa pulang air sendangsono untuk kenang-kenangan. Menurut informasi, banyak orang beroleh mukjizat kesembuhan setelah mengkonsumsi air ini. Bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil!
Di bawah jembatan kecil ke kompleks peziarahan mengalir sungai kecil. Ada sebuah batu besar yang zaman dulu dipercaya 'ditunggui' makhluk halus. Batu itu oleh Romo Mangun dipertahankan sebagai adanya untuk mengatur aliran air. Perhatikan, bangunan ini ramah lingkungan mulai dari sungai hingga ke atas.
Karya cipta adiluhung patut mendapat penghargaan. Pada 1991 Ikatan Arsitektur Indonesia memberikan penghargaan karya arsitektur terbaik untuk Tempat Ziarah Sendangsono, buah tangan dingin Romo Mangunwijaya. Kompleks ini dinilai sebagai bangunan khusus dengan penataan lingkungan terbaik di Indonesia. Karena itu, Sendangsono pun menjadi rujukan berbagai kalangan untuk 'studi banding' bagaimana merancang bangunan yang ramah lingkungan.
Selamat buat Romo Mangun dan warga Sendangsono!
Oh ya, ziarah di Sendangsono menjadi lebih ideal [sangat dianjurkan] bila umat melakoni jalan salib dari Gereja Promasan [Paroki Maria Lourdes] hingga ke kompleks Sendangsono. Jaraknya sekitar 2,5 kilometer, mendaki, jalan berbatu. di sepanjang jalan kita bisa berdoa mulai stasi I hingga XIV. Perlu niat dan stamina cukup kuat [bagi orang kota] untuk melakukan jalan salib rute panjang ini.
Rute khusus jalan salib Promasan-Sendangsono dibuat pada 1958. Gereja Promasan dimulai pembangunannya pada 11 Februari 1940 di masa Romo R. Jasawihardja SJ, kemudian dituntaskan Romo JB Prennthaler SJ. Yang menarik, meski menjadi jemaat Katolik perintis di tanah Jawa, umat Sendangsono dan sekitarnya terlambat memiliki gereja atau paroki sendiri. Sebelumnya, Sendangsono ikut Paroki Muntilan, kemudian Paroki Boro.
Selamat berziarah di Sendangsono!
Sendangsono, Bethlehem van Java,
Bethlehem-nya Tanah Jawa!
Sembah bekti kawula Dewi Maria, kekasihing Allah
Pangeran nunggil ing panjenengan dalem
Sami-sami wanita Sang Dewi pinuji piyambak
saha pinuji ugi wohing salira Dalem, Sri Yesus
Dewi Maria, Ibuning Allah,
kawula tiyang dosa sami nyuwun pangestu dalem
semangke tuwin benjing
dumugining pejah. Amin.
REFERENSI
1. Petrus Soeradjiman: Sendangsono, Promasan Kalibawang; Putra Bhakti Magelang, 1976.
2. G.P. Sindhunata SJ: Mengasih Maria, 100 Tahun Sendangsono; Kanisius Jogjakarta, 2004.
3. Wawancara dengan Bapak Agustinus Suwarno, pengawas bangunan Sendangsono.
4. Wawancara dengan Bapak Yohanes Sugianto, pekerja Sendangsono.
5. Wawancara dengan Bapak Cornelius Sulistiyanto [katekis, tokoh pendidikan Kalibawang], putra Antonius Sakarija [katekis generasi awal Sendangsono, Kalibawang].
6. Wawancara dengan Ibu Pariyah, umat sendangsono.
Sumber artikel :
Pesan moral artikel :
Kontributor Artikel & lamp; Foto : Herman Hidayat Profile Facebook Herman Hidayat klik di sini. Herman adalah Pemilik MestiMoco.com.
www.MestiMoco.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar